Politik adalah
proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses
pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Perkembangan politik merupakan aspek
dan keonsekuensi politik perubahan menyeluruh, yaitu modernisasi. Artinya
adalah kata kunci perkembangan politik terjadinya semua modernisasi dari sistem
yang kurang bagus menjadi lebih baik.
Standar perkembangan politik di tandai dengan beberapa tujuan
sistem politik, misalnya berhubungan dengan demokrasi, stabilitas politik,
integrasi bangsa, legitimasi dan persamaan. Suatu gerakan perkembangan menuju
sistem politik yang moderen yang mengalami proses industrilisasi.
Perkembangan politik Indonesia menjadi tidak sehat belakangan
ini. Masalah hukum itu dapat dijadikan bargaining politik bagi siapapun pelaku
politik negeri ini. Masalah itu dapat digunakan untuk kepentingan pribadi dan
kelompok dalam menekan pemerintah atau pihak lain. Budaya yang tidak sehat
inilah yang membuat pertentangan politik di Indonesia semakin tidak
berkualitas. Hal inilah yang membuat kontrapoduktif dalam bangsa ini.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakstabilan politik
Indonesia. Berikut saya jabarkan beberapa di antaranya :
1. Partisipasi Politik yang menyimpang.
Partisipasi politik merupakan usaha
terorganisir dari warga negara untuk memilih pemimpin mereka serta untuk
mempengaruhi kebijakan – kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Partisipasi Politik di Indonesia
diwujudkan melalui Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden & Wakil Presiden,
Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), & Pemilihan Kepala Daerah. Rakyat
Indonesia juga bisa berpartisipasi untuk dipilih dan mewakili aspirasi politik
rakyat lainnya melalui keikutsertaan dalam Partai Politik.
Beberapa
peneliti LIPI pernah mengadakan penelitian mengenai interaksi partai politik
dengan masyarakat pasca Pemilu 2004. Hasilnya cukup mengagetkan. Interaksi
antara masyarakat dan partai politik hampir sebagian besar hanya terjadi
menjelang dan selama masa pemilihan umum. Parpol tiba-tiba menghilang ketika
pesta demokrasi usai dan para wakil rakyat terpilih duduk di lembaga
legislatif. Usainya pemilu dan terpilihnya para anggota lembaga legislatif
sekaligus menandai berakhirnya dinamika dan kehidupan parpol. Terpilihnya mereka
membuat aktivitas di parpol semakin surut. Kegiatan parpol berpindah ke lembaga
legislatif. Padahal justru interaksi parpol dengan masyarakat merupakan faktor
penting dalam membangun pemerintahan lokal yang aspiratif dan berpihak pada
kepentingan umum.
Kenyataan
itu menumbuhkan sikap tak percaya dari masyarakat, meningkatnya Golongan Putih
(Goput), dan menimbulkan ketidakstabilan politik.
Angka
golput yang mencapai diatas 30% semakin memberi indikasi kuat terjadinya
penurunan partisipasi politik rakyat pada pilkada. Tentu ini sangat mamalukan. Kenyataan
ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia tidak percaya pada pemimpin bangsa. Bagaimana
bangsa ini bisa maju jika masyrakatnya tidak percaya pada pemimpinnya sendiri. Mereka
merasa sudah dikhianati dan dicederai kepercayaaannya oleh para elit politik
dan wakil-wakil mereka di legislatif.
Lebih jauh
lagi, apabila kita membandingkan antara perilaku para elit politik, baik di
legislatif maupun di eksekutif, dengan kondisi dan kemelaratan yang dialami
oleh rakyat kecil belakangan ini, akan nampak pemandangan yang paradoks. Di
satu sisi, para elit politik bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan,
mengantre untuk mendapat kenaikan gaji dan tunjangan lainnya. Sementara rakyat
kecil harus bertahan hidup walau dengan terpaksa harus makan nasi aking, daging
daur ulang yang ditemukan di tempat-tempat sampah, makanan sisa-sisa yang
dibuang dari restoran-restoran atau hotel-hotel, mengantri minyak tanah sampai
berpuluh-puluh meter, dan sebagainya. Padahal bangsa Indonesia katanya memiliki
semua persyaratan untuk berhasil : demokrasi yang stabil, kekayaan alam yang
melimpah, serta pasar yang besar. Akan tetapi, sayangnya Indonesia masih
terpuruk seperti sekarang ini.
2.
Pelembagaan
Politik yang tidak mewakili rakyat
Selain partisipasi politik yang
dibutuhkan dalam pembangunan stabilitas politik suatu negara, pelembagaan
insitusi politik (Partai Politik hinnga DPR) diperlukan untuk melembagakan
partsipasi politik dari masyarakat. Dalam memahami pelembagaan politik ini
terdapat dua pembilahan mendasar antara hubungan pelembagaan politik dengan
partisipasi politik yakni sistem politik dengan pelembagaan politik yang rendah
dengan partisipasi politik yang tinggi dimana kekuatan sosial menggunakan cara
mereka sendiri berkasi di tengah – tengah arena politik disebut sebagai negara
pretorian sedangkan sistem politik yang pelembagaan politik serta diimbangi
dengan adanya partisipasi politik yang tinggi disebut sebagai negara
kerakyatan.
Di Indonesia justru lembaga
Politiklah yang menyebabkan ketidakstabilan Politik, beikut ini masalah lembaga
yang menyebabkan ketidakstabilan politik:
- DEWAN PERWAKILAN RAKYAT TIDAK
MEWAKILI RAKYAT
Untuk kasus Indonesia, masalah yang
sangat mendasar dihadapi oleh rakyat yakni para wakil rakyat tidak lagi
mewakili keinginan rakyat, seperti dilansir oleh Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA), FITRA mencatat 'dosa-dosa' DPR antara lain:
1. 1.Pembangunan
gedung mewah berfasilitas SPA dan kolam renang dengan nilai Rp1,8 triliun.
2. 2.Biaya
pelantikan yang mewah Rp12 triliun.
3. 3.Anggaran
plesiran ke luar negeri Rp170 triliun.
4. 4.Pembahasan
RUU inisiatif DPR sebesar Rp170 milliar.
5. 5.Dana
aspirasi Rp8,4 triliun.
6. 6.Bagi-bagi
cek kosong Rp1,1 triliun.
7.
7.Dana penyelewengan pembangunan
Rumah Jabatan Anggota di Kalibata yang nilainya triliunan.
- KONFLIK ANTAR PARTAI POLITIK
Konflik-konflik yang terjadi antar
partai di era Demokrasi Liberal menjadi permasalahan utama yang akan dibahas
berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut, seiring dengan
berlakunya sistem parlementer pada saat itu.
Konflik-konflik tersebut terjadi karena di dalam menjalankan
peran dan fungsi dari masing-masing partai terjadi benturan-benturan baik dari
segi ideologi, pemanfaatan isu nasional, dan hal ini terlihat jelas pada perjalanan
masing-masing partai pada masa Demokrasi Liberal saat itu. Dengan menggunakan
ideologi, sebuah partai mencoba untuk menyerang partai lainnya. Caranya adalah
menghubungkan ideologi masing-masing dengan isu-isu nasional yang dianggap
dapat mengurangi pengaruh bahkan menjatuhkan partai lainnya. Setiap partai
mempunyai kelompok-kelompok sosial tertentu yang dijadikan wahana untuk mencari
pengaruh dan memperjuangkan ideologi masing-masing.
- FUNGSI PARTAI POLITIK YANG
TIDAK TERLAKSANA
Selanjutnya, fungsi partai politik sebagai sarana pengatur
konflik sepertinya tidak dapat diperankan secara sempurna oleh partai-partai
poltik yang ada pada era Demokrasi Liberal. Hal ini dapat dibuktikan dengan
Merujuk pada kenyataan yang terjadi pada saat itu. Partai politik tidak
memprioritaskan programnya kepada usaha untuk tercapainya integrasi nasional,
melainkan berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing.
KESIMPULAN
Perkembangan
politik Indonesia menjadi tidak sehat belakangan ini. Masalah hukum itu dapat
dijadikan bargaining politik bagi siapapun pelaku politik negeri ini. Masalah
itu dapat digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok dalam menekan
pemerintah atau pihak lain. Budaya yang tidak sehat inilah yang membuat
pertentangan politik di Indonesia semakin tidak berkualitas.
Di
Indonesia justru
lembaga Politik sendirilah yang menyebabkan ketidakstabilan Politik di negeri
ini. Masyarakat tidak lagi percaya pada lembaga politik sehingga meningkatnya
golongan putih (Golput) dan menimbulkan ketidaksabilan politik. Masyarakat merasa
dikhianati oleh pemimpin mereka sendiri.
SUMBER REFRENSI
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
2 komentar:
terima kasih artikelnya, sangat membantu.
www.kiostiket.com
itu pada masa demokrasi liberal go siihhh
Posting Komentar