Hukum adalah sistem yang terpenting dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum di Indonesia merupakan
campuran dari sistem hukum-hukum Eropa,
hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata
maupun pidana, berbasis pada hukum
Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda.
Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah
saja. Hukum seakan-akan bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia, rakyat
Indonesia seolah tak lagi takut pada hukum yang berlaku di negara ini.
Kebanyakan orang akan bicara bahwa
hukum di Indonesia itu dapat di “beli”, yang menang mereka yang mempunyai
kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun
aturan negara dilanggar. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa karena
hukum dapat di beli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk
melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil. Praktik penyelewengan
dalam proses penegakan hukum, seperti mafia hukum dan peradilan, peradilan yang
diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang
ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif
menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang dideskripsikan Plato bahwa
hukum adalah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi
akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat.
Menurunnya kualitas sebagai negara
hukum di Indonesia tidak lepas dari lemahnya etika para profesional hukum.
Menggejalanya perbuatan profesional yang mengabaikan kode etik profesi karena
beberapa alasan yang paling mendasar, baik sebagai individu anggota masyarakat
maupun karena hubungan kerja dalam organisasi profesi, di samping sifat manusia
yang konsumeristis dan nilai imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang
diberikan.
Seperti yang disampaikan oleh Kepala
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed), Majda
El Muhtaj bahwa hukum bisa dibeli dan dijadikan tawar-menawar politik. Naif
sekali. Indonesia benar-benar berduka dengan matinya hukum dan keadilan.
Korupsi politik adalah fakta keindonesiaan kita hari ini
Bebasnya Gayus
Tambunan, terdakwa kasus penggelapan pajak, melenggang keluar-masuk Rumah
Tahanan Mako Brimob bukanlah peristiwa baru. Ia masih cukup bebas menghirup udara segar
setelah divonis Mahkamah Agung. Ia masih sempat berjudi di kasino Marina Bay
(Singapura), Venetian (Macau), dan Los Angeles. Ia juga pernah tertangkap
kamera wartawan ketika ia menonton pertandingan tenis di Bali. Gayus
juga menyebut mereka yang menjadi tahanan di rutan Mako melakukan hal serupa.
Selepas kejadian
mengherankan itu, muncul indikasi kecurigaan terhadap integritas pemerintah dan
hukum di Indonesia. Konon dikatakan sipir penjara disuap sebesar 50 juta
rupiah, dalam sekali pelepasan tahanan.
Kasus
lain ialah kasus Nazarudin. Tersangka kasus korupsi wisma atlet ASEAN GAMES ini
menghabiskan 6 triliun rupiah kas negara, namun belum diproses secara formal
hingga kini. Masih banyak nama-nama petinggi negara yang disebut, bahkan
akhir-akhir ini ia menyebut nama Presiden RI ikut andil dalam kasus KKN kelas
wahid itu.
Dilanjutkan pada kasus
yang tak kalah ironis bagaimana seorang tersangka tipikor yang merugikan negara
Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang merupakan mantan Bupati Kutai
Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan atas petimbangan MA masa
tahanannya dikurangi tiga tahun karena yang bersangkutan menderita sakit parah
dan berakibat pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar yang saat itu
menjabat sebagai Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari pemberian
grasi tersebut adalah alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi yang
diberikan MA terlalu besar, Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau
hanya menyatakan itu merupakan keputusan MA dan pemerintah hanya
menjalankannya.
Sedangkan
kasus terbaru yang beda dari kasus diatas ialah kasus penabrakan pejalan kaki
ditrotoar oleh pengemudi mobil Daihatsu Xenia bernama Aftriani
Susanti. Setelah diselidiki sebab-musabab ia melakukan penabrakan
tersebut, diketahui bahwa sang pengemudi berada dalam pengaruh alkohol dan
sabu-sabu. Namun, yang menakjubkan ialah ia hanya dikenakan vonis 6 tahun
penjara, padahal kesalahannya berlipat ganda; membunuh orang, merusak trotoar,
mengonsumsi sabu-sabu, dan mengemudi dalam pengaruh alkohol. Ini
hanya segelintir cerita dari praktik buruknya mekanisme penegakan hukum di
Indonesia.
Sebuah
fenomena menarik dapat kita simpulkan dari vonis masa tahanan yang diberikan
pada 3 pendosa besar diatas. Kesalahan mereka sangat berat dan merugikan banyak
orang. Namun, ketika uang disodorkan pada penegak hukum, segala perkara dapat
selesai dengan mudah, semua dapat diperingan. Bayangkan dengan kondisi kronis
yang dialami rakyat kecil.
Sebagai
contoh, seorang pencuri buah kakao di perkebunan swasta, ia hanya mengambil
buah-buah yang jatuh dari pohon, kemudian hendak dijualnya untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya. Namun, pemilik kebun tidak terima dan melaporkan
kejadian itu ke polisi. Pencuri buah kakao ini pun divonis 1,5 bulan penjara,
padahal pencuri ini adalah seorang nenek berusia senja.
Saya setuju apapun namanya mencuri adalah
kesalahan dan tidak dapat dibenarkan. Namun demikian jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan.
Apa mungkin seorang nenek berusia lanjut dan buta huruf dihukum hanya karena ketidaktahuan dan keawamannya
tentang hukum.
Sangat miris ketika
melihat seorang nenek tua duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya dan
tatapan kosong. Bahkan untuk datang ke persidangan pun, nenek tersebut harus
meminjam uang sebesar Rp. 30.000,- untuk biaya transportasi karena jarak
pengadilan dari rumah yang memang cukup jauh.
Hal ini sangat ironis
karena seorang nenek tua saja bisa menghadiri persidangannya walaupun harus
meminjam uang untuk biaya trasportasi sedangkan seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin banyak yang mangkir dari
panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang dibuat-buat atau alasan
lainnya,seperti korupsi kelas kakap.
Ketidakadilan
hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang memang sudah
rusak, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Saya sendiri merasa malu dengan moral
bangsa ini yang begitu naïf. Ada pertanyaan besar yang timbul dari serangkaian
kasus di negeri ini, Apakah hukum di Indonesia bisa di beli dengan uang ? Jika
bisa, konglomerat tidak perlu takut melanggar hukum karena mereka dapat
bernegoisasi di belakang pengadilan agar mendapatkan keringanan hukum. Yang
menjadi masalah adalah rakyat kecil yang semakin tidak terlindungi dan semakin
tertindas.
Pertanyaan
selanjutnya adalah, apa bangsa ini sudah dibilang merdeka dan mandiri sedangkan
hukumnya saja di kontrol dengan uang ? menurut saya, Indonesia bahkan belum
dapat di bilang sepenuhnya merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh
ketidakadilan pemerintahannya sendiri.
Hukum dan keadilan
menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan
dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law
Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata
“sulit dan susah untuk diharapkan”.
Bahkan
secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir
maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat
diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita
sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan
dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada
seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.
Kenyataan
ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak
kepada mereka yang lemah dan miskin. Sindiran yang sifatnya sarkatisme
mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik
dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti
akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”.
Tapi
agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam
masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris
segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan
tanggungjawabnya.
Kesimpulan
Dari kasus yang terjadi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa di Indonesia terjadi ketidakadilan hukum antara pihak yang
lemah dengan pihak yang kuat. Hal ini terjadi karena kurang tegasnya penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya, sehingga menyebabkan semakin lama kejahatan semakin
meningkat di indonesia dan pihak yang lemah selalu di rugikan.
Ketidakadilan hukum
Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang memang sudah rusak,
sekaligus menjajah bangsa sendiri.
Jika
ini terus berlanjut, tidak mengherankan bila dalam beberapa tahun ke depan
Indonesia akan semakin terpuruk. Hukum merupakan aspek terpenting dalam suatu
negara, apabila hukum negara saja bisa di permainkan dengan uang, bisa
dibayangkan bagaimana keadaan Indonesia di masa yang akan datang.
Ini
menjadi tugas para generasi penerus bangsa untuk segera memperbaiki Indonesia
agar tidak lagi menjadi negara yang naïf.
Sumber Refrensi
0 komentar:
Posting Komentar