Halowh…
Intan sekarang lagi liburan nih muehehehe. Yah ga liburan full sih. Masih tetep
ada rapat BEM dan masih ada beberapa ujian yang belum selesai. Tapi masih
mendingan lah dari pada pas kuliah full. Capenya nendang banget. Kuliah iya,
rapat iya, tugas ini itu. Alamaaaakk.
Kalo lagi liburan gini gue paling
seneng nonton film seharian di kamar. Berhubung gue males nyari dvd bajakan
yang subtitle-nya kadang-kadang ga jelas, gue download deh filmnya :D Emang sih
gede banget size-nya -,-
Atas rekomendasi dari temen, kemarin gue
download drama Jepang, judulnya One Litre Of Tears. Telat banget sih sebenernya
gue baru nonton sekarang, secara ini film tahun 2005-an. Tapi gapapa kan,
daripada ga nonton sama sekali hehehe.
Secara
etimologi demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu
Demokratia, Demos artinya rakyat dan Kratia adalah pemerintahan. Atau sistem
pemerintahan yang mengakui hak segenap anggota masyarakat untuk mempengaruhi
keputusan politik baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan
secata terminologis menurut Josefh A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu
perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana para individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas
suara rakyat.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara
mengandung pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan
dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan
negara, karena kebijakan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Dari sudut
organisasi demokrasi berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat
sendiriatau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.
Dari berbagai sudut
tinjauan, di mata banyak para pengamat, proses demokratisasi di negeri kita merupakan
keharusan yang hapir tak terelakkan. Sejak persiapan kemerdekaan Indonesia pada
tahun 1945, para bapak pendiri bangsa telah menggunakan istilah
demokrasi untuk mensiasati sistem politik Indonesia.
Para peyelenggara negara pada
periode awal kemerdekaan mempunyai komitmen yang sangat besar dalam mewujudkan
demokrasi di Indonesia. Mereka percaya bahwa demokrasi bukan merupakan sesuatu
yang hanya terbatas pada komitmen, tetapi juga sesuatu yang harus diwujudkan.
Periode kedua, masa pemerintahan
demokrasi parlementer yang berkisar dari tahun 1950 sampai 1959 merupakan
masa kejayaan demokrasi di Indonesia karena hampir semua elemen demokrasi dapat
ditemukan perwujudannya dalam politik di Indonesia. Pada periode ini kedudukan
parlemen sangat kuat dan pada gilirannya menguatkan pula kedudukan partai
politik.
Pancasila
adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata
dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla
berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4
Preambule (Pembukaan) Undang-undang
Dasar 1945.
Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila
Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945,
tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pancasila dalam kedudukannya ini sering disebut sebagai
Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara (Philosofische Gronslag) dari
Negara, ideologi Negara atau (Staatsidee). Dalam pengertian ini pancasila
merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan Negara atau
dengan kata
lain perkataan. Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan
Negara.
Pancasila
sebagai dasar Negara Indonesia merupakan ideologi yang terbuka. Artinya pancasila
memiliki nila-nilai yang bersifat tetap dan tidak dapat berubah, namun dalam
praktek sehari-hari pancasila dapat mengikuti perkembangan zaman tanpa harus
mengubah kandungannya.
Perkembangan politik merupakan aspek
dan keonsekuensi politik perubahan menyeluruh, yaitu modernisasi. Artinya
adalah kata kunci perkembangan politik terjadinya semua modernisasi dari sistem
yang kurang bagus menjadi lebih baik.
Standar perkembangan politik di tandai dengan beberapa tujuan
sistem politik, misalnya berhubungan dengan demokrasi, stabilitas politik,
integrasi bangsa, legitimasi dan persamaan. Suatu gerakan perkembangan menuju
sistem politik yang moderen yang mengalami proses industrilisasi.
Perkembangan politik Indonesia menjadi tidak sehat belakangan
ini. Masalah hukum itu dapat dijadikan bargaining politik bagi siapapun pelaku
politik negeri ini. Masalah itu dapat digunakan untuk kepentingan pribadi dan
kelompok dalam menekan pemerintah atau pihak lain. Budaya yang tidak sehat
inilah yang membuat pertentangan politik di Indonesia semakin tidak
berkualitas. Hal inilah yang membuat kontrapoduktif dalam bangsa ini.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakstabilan politik
Indonesia. Berikut saya jabarkan beberapa di antaranya :
1.Partisipasi Politik yang menyimpang.
Partisipasi politik merupakan usaha
terorganisir dari warga negara untuk memilih pemimpin mereka serta untuk
mempengaruhi kebijakan – kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Partisipasi Politik di Indonesia
diwujudkan melalui Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden & Wakil Presiden,
Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), & Pemilihan Kepala Daerah. Rakyat
Indonesia juga bisa berpartisipasi untuk dipilih dan mewakili aspirasi politik
rakyat lainnya melalui keikutsertaan dalam Partai Politik.
Beberapa
peneliti LIPI pernah mengadakan penelitian mengenai interaksi partai politik
dengan masyarakat pasca Pemilu 2004. Hasilnya cukup mengagetkan. Interaksi
antara masyarakat dan partai politik hampir sebagian besar hanya terjadi
menjelang dan selama masa pemilihan umum. Parpol tiba-tiba menghilang ketika
pesta demokrasi usai dan para wakil rakyat terpilih duduk di lembaga
legislatif. Usainya pemilu dan terpilihnya para anggota lembaga legislatif
sekaligus menandai berakhirnya dinamika dan kehidupan parpol. Terpilihnya mereka
membuat aktivitas di parpol semakin surut. Kegiatan parpol berpindah ke lembaga
legislatif. Padahal justru interaksi parpol dengan masyarakat merupakan faktor
penting dalam membangun pemerintahan lokal yang aspiratif dan berpihak pada
kepentingan umum.
Kenyataan
itu menumbuhkan sikap tak percaya dari masyarakat, meningkatnya Golongan Putih
(Goput), dan menimbulkan ketidakstabilan politik.
Angka
golput yang mencapai diatas 30% semakin memberi indikasi kuat terjadinya
penurunan partisipasi politik rakyat pada pilkada. Tentu ini sangat mamalukan. Kenyataan
ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia tidak percaya pada pemimpin bangsa. Bagaimana
bangsa ini bisa maju jika masyrakatnya tidak percaya pada pemimpinnya sendiri. Mereka
merasa sudah dikhianati dan dicederai kepercayaaannya oleh para elit politik
dan wakil-wakil mereka di legislatif.
Lebih jauh
lagi, apabila kita membandingkan antara perilaku para elit politik, baik di
legislatif maupun di eksekutif, dengan kondisi dan kemelaratan yang dialami
oleh rakyat kecil belakangan ini, akan nampak pemandangan yang paradoks. Di
satu sisi, para elit politik bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan,
mengantre untuk mendapat kenaikan gaji dan tunjangan lainnya. Sementara rakyat
kecil harus bertahan hidup walau dengan terpaksa harus makan nasi aking, daging
daur ulang yang ditemukan di tempat-tempat sampah, makanan sisa-sisa yang
dibuang dari restoran-restoran atau hotel-hotel, mengantri minyak tanah sampai
berpuluh-puluh meter, dan sebagainya. Padahal bangsa Indonesia katanya memiliki
semua persyaratan untuk berhasil : demokrasi yang stabil, kekayaan alam yang
melimpah, serta pasar yang besar. Akan tetapi, sayangnya Indonesia masih
terpuruk seperti sekarang ini.
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum di Indonesia merupakan
campuran dari sistem hukum-hukum Eropa,
hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata
maupun pidana, berbasis pada hukum
Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda.
Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah
saja. Hukum seakan-akan bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia, rakyat
Indonesia seolah tak lagi takut pada hukum yang berlaku di negara ini.
Kebanyakan orang akan bicara bahwa
hukum di Indonesia itu dapat di “beli”, yang menang mereka yang mempunyai
kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun
aturan negara dilanggar. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa karena
hukum dapat di beli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk
melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil. Praktik penyelewengan
dalam proses penegakan hukum, seperti mafia hukum dan peradilan, peradilan yang
diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang
ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif
menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang dideskripsikan Plato bahwa
hukum adalah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi
akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat.
Menurunnya kualitas sebagai negara
hukum di Indonesia tidak lepas dari lemahnya etika para profesional hukum.
Menggejalanya perbuatan profesional yang mengabaikan kode etik profesi karena
beberapa alasan yang paling mendasar, baik sebagai individu anggota masyarakat
maupun karena hubungan kerja dalam organisasi profesi, di samping sifat manusia
yang konsumeristis dan nilai imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang
diberikan.
Seperti yang disampaikan oleh Kepala
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed), Majda
El Muhtaj bahwa hukum bisa dibeli dan dijadikan tawar-menawar politik. Naif
sekali. Indonesia benar-benar berduka dengan matinya hukum dan keadilan.
Korupsi politik adalah fakta keindonesiaan kita hari ini
Negara
adalah suatu organisasi yang meliputi wilayah, sejumlah rakyat, dan mempunyai
kekuasaan berdaulat. Setiap negara memiliki sistem politik (political system)
yaitu pola mekanisme atau pelaksanaan kekuasaan. Sedang kekuasaan adalah hak
dan kewenangan serta tanggung jawab untuk mengelola tugas tertentu. Pengelolaan
suatu negara inilah yang disebut dengan sistem ketatanegaraan.
Sistem
ketatanegaraan dipelajari di dalam ilmu politik. Menurut Miriam Budiardjo
(1972), politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari negara itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan tersebut. Untuk itu, di suatu negara terdapat kebijakan-kebijakan
umum (public polocies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau
alokasi kekuasaan dan sumber-sumber yang ada.
Di
Indonesia pengaturan sistem ketatanegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sedangkan
kewenangan kekuasaan berada di tingkat nasional sampai kelompok masyarakat
terendah yang meliputi MPR, DPR, Presiden dan Wakil Presiden, Menteri, MA, MK,
BPK, DPA, Gubernur, Bupati/ Walikota, sampai tingkat RT.
Lembaga-lembaga
yang berkuasa ini berfungsi sebagai perwakilan dari suara dan tangan rakyat,
sebab Indonesia menganut sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, pemilik
kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan
penyelenggaraannya bersama-sama dengan rakyat.
Pada kurun
waktu tahun 1999-2002, Undang-Undang Dasar
1945 telah mengalami empat kali perubahan (amandemen). Perubahan (amandemen)
Undang-Undang Dasar 1945 ini, telah membawa implikasi terhadap sistem
ketatanegaraan Indonesia. Dengan berubahnya sistem ketatanegaraan Indonesia,
maka berubah pula susunan lembaga-lembaga negara yang ada.
Berikut
ini akan dijelaskan sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum dan sesudah
Amandemen UUD 1945.
·Sebelum Amandenen UUD 1945
Sebelum
diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi
negara, serta hubungan antar lembaga-lembaga tersebut. Undang-Undang
Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan
seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution
of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah
Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Krisis energi diperkirakan akan melanda dunia pada tahun 2015. Hal ini dikarenakan semakin langkanya minyak bumi dan semakin meningkatnya permintaan energi. Untuk itu diperlukan suatu terobosan untuk memanfaatkan energi lain, selain energi yang tak terbarukan. Karena kalau kita tergantung pada energi tidak terbarukan, maka di masa depan kita juga akan kesulitan untuk memanfaatkan energi ini karena keterbatasan populasi dari energi tersebut.