Amanah mencerdaskan kehidupan bangsa jelas secara eksplisit
tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Rentetan kalimat pada alenia ke 4 pembukaan
UUD 1945 itu menegaskan bahwa "mencerdaskan kehidupan bangsa" adalah
fungsi dari dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia, artinya jika pemerintah
tidak mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, atau hanya melakukan sebagaian
upaya mencerdaskan bangsa, melalui pengupayaan segala aspek pendidikan sekolah
negeri dan guru negeri (PNS) saja, berarti pemerintah baru menunaikan sebagian
fungsinya saja, pemerintah belum sepenuhnya menjalankan amanah konstitusi dalam
mencerdaskan kehidupnan bangsa. Pemerintah masih berhutang kemerdekaan dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kita setuju bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa,
bahwa guru adalah faktor utama penentu kualitas generasi penerus bangsa, dan
bahwa guru memiliki posisi unik terkait masa depan bangsa, maka kesejahteraan
guru mutlak harus diperhatikan, terutama kesejahteraan guru non-PNS. Fakta
yang terjadi di negara ini para guru honorer benar-benar merupakan sosok
pahlawan tanpa tanda jasa yang tiap bulannya hanya menerima gaji ala kadarnya
yang jauh dari Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten (UMK) di
daerah mengajarnya masing-masing.
Tertuang dalam Permendiknas no. 7 Tahun 2011 tentang
Honorarium Guru Bantu bahwa guru bantu mendapatkan honorarium sebesar Rp
1.000.000 setiap bulan, Bahkan di beberapa daerah terpencil, honor guru jauh
dibawah yang telah ditetapkan pemerintah. Berbagai peraturan tentang tunjangan
guru sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008
tentang Guru. Namun peraturan ini ternyata tidak berlaku bagi para guru
honorer.
Selama ini gaji guru honorer sudah di alokasikan sebesar 20%
dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) pertahun. Milyaran rupiah
digelontorkan oleh pemerintah pusat ke berbagai sekolah di seluruh Indonesia,
namun kenapa masih ada guru honorer yang mendapatkan gaji di bawah standar ?
Lalu, kemana perginya dana BOS milyaran rupiah tersebut ? Dengan pekerjaan yang
sama dengan guru PNS, adilkah mereka digaji di bawah UMP ?
Di Sidoarjo Jawa Timur, salah seorang guru Madrasah
Ibtidaiyah yang mengungkapkan ke Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) bahwa dirinya
perbulan hanya mendapatkan gaji Rp. 150.000,- padahal UMK untuk Kab. Sidoarjo
berdasarkan Peraturan Gubernur No. 72/2012 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota
di jawa Timur Tahun 2013 sebesar Rp. 1.720.000.
Pengungkapan seorang guru di atas, bisa jadi mewakili
buramnya nasib guru honorer yang mungkin ratusan atau ribuan yang mengalami
nasib yang sama. Atas hal tersebut YLBHI menilai bahwa karena beban dan
tanggung jawab yang sama antara guru honorer dengan guru PNS, maka kewajiban
pemerintah untuk segera memikirkan kesejahteraan dan nasib para guru honorer.
Tentunya pemerintah pusat maupun provinsi harus melakukan terobosan kebijakan,
sehingga tidak ada lagi kesenjangan kesejahteraan terhadap para guru
honorer.
Guru honorer harus melewati masa bertahun-tahun untuk
mendapatkan kesejahteraan yang sama dengan para guru Pegawai Negeri yakni
melalui proses terlebih dahulu dengan mendapatkan Nomor Unik Pendidik dan
Tenaga Kependidikan (NUPTK), baik yang berada di bawah binaan kemendikbud
maupun kemenag. Guru honorer yang sudah mempunyai NUPTK juga belum menjamin
kesejahteraannya, karena terlebih dahulu harus mendapatkan sertifikasi agar
bisa disejajarkan dengan guru pegawai negeri. Padahal untuk mendapatkan NUPTK
salah satu prasyaratnya sudah menjadi pengajar selama 2 tahun, belum lagi
proses untuk mendapatkan sertifikasi.
Artinya, selama seorang guru belum mendapatkan NUPTK dan
sertifikasi, maka guru honorer tersebut hanya mendapatkan gaji ala kadarnya,
bahkan tidak layak disebut gaji. Begitu panjang dan berat perjalanan seorang guru
dengan beban besar di pundak mereka untuk mendapatkan kesejahteraan. Padahal,
kesejahteraan adalah hak setiap manusia dan pekerjaan wajib bagi pemerintah.
Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya, berjanji untuk
menyelesaikan masalah guru honorer serta prasarana pendidikan lain dalam tiga
tahun. Jokowi bahkan berjanji bakal berkoordinasi dengan Menteri Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan kepala daerah setempat untuk
mengangkat guru honorer menjadi pegawai negeri sipil.
PGRI mengusulkan agar ada format penyelesaian guru honorer
terutama dua hal. Yang pertama, aspek kepegawaian dan yang kedua,
kesejahteraan. PGRI berharap pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi ada
sejarah baru, bisa mengatur penghasilan minimal untuk guru termasuk guru
non-PNS.
Referensi
Arifien
Wawan. (2012). Guru Juga Manusia. Bandung: Mitra Edukasi.
http://formatnews.com/v1/view.php?newsid=50907
http://www.kompasiana.com/darwonogurukita/pemerataan-kesejahteraan-guru_5599d1ef9493730a0ea54383
http://hamizann.blogspot.co.id/2015/04/janji-jokowi-untuk-meningkatkan.htm